Subang, BOMEN NEWS.com
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi (KDM), melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke PT. Tirta Investama Subang (AQUA) di Kecamatan Cisalak, Kabupaten Subang, pada Senin (20/10/2025) lalu
Dalam kunjungan tersebut, KDM menyoroti penggunaan air Bawah Tanah oleh industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) dan menyampaikan kekhawatiran tentang potensi “pergeseran tanah” akibat pengambilan air bawah tanah.
“Semua daerah di Jawa Barat dari air bawah tanah? Oh iya, lalu semakin dalam airnya semakin murni, ya? Ini tidak berbahaya kalau terjadi pergeseran tanah? Awas, lho,” ujar Dedi.
Pernyataan tersebut memantik respons dari kalangan akademisi. Sejumlah pakar hidrogeologi menilai kekhawatiran KDM tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat dan perlu di kaji lebih jauh dengan data serta analisis hidrogeologi yang akurat.
Pakar ITB & UGM: Air Tanah Dalam Lebih Aman dan Higienis
Prof. Lambok M. Hutasoit, pakar hidrogeologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), menjelaskan bahwa pengambilan air dari lapisan dalam (akuifer dalam) merupakan praktik ilmiah yang lebih aman dan higienis di banding air tanah dangkal.
“Air tanah dangkal jauh lebih rentan tercemar oleh limbah rumah tangga, septic tank, atau saluran air. Sedangkan air dari lapisan dalam cenderung terlindungi dan kualitasnya lebih stabil,” jelas Prof. Lambok.
Ia menambahkan, tidak semua air tanah aman di konsumsi.
“Salah satunya ada Kromium VI, zat yang sangat beracun. Jadi, tidak sembarangan menggunakan air tanah untuk air minum. Harus di analisis kimianya terlebih dahulu,” tegasnya.
Menurut Lambok, lapisan batuan juga menentukan kualitas air. Batuan pasir, kapur, dan gamping menjadi lapisan ideal, sedangkan batu lumpur lebih mudah tercemar.
Air Pegunungan: Bukan Sekadar Jargon, Tapi Hasil Penelitian & Investasi Besar
Klaim “air pegunungan” pada produk AMDK ternyata bukan sekadar jargon pemasaran. Industri besar seperti Aqua rela menggelontorkan investasi hingga miliaran rupiah demi memastikan sumber airnya benar-benar berasal dari sistem hidrogeologi pegunungan yang aman dan berkualitas.
Ahli hidrogeologi Prof. Heru Hendrayana dari Universitas Gadjah Mada (UGM) mengungkapkan, satu kali pengeboran sumur dalam bisa menelan biaya hingga Rp. 2 miliar.
“Itu sebabnya hanya industri besar yang bisa melakukan. Mereka meneliti asal-usul air tanahnya agar benar-benar dari pegunungan, bukan asal ambil,” ujarnya.
Investasi besar ini di lakukan karena air tanah dangkal lebih mudah terkontaminasi oleh limbah rumah tangga, septic tank, atau polusi lingkungan. Sementara itu, air dari akuifer dalam, yang biasanya terhubung dengan sistem hidrogeologi pegunungan, di nilai lebih higienis dan memiliki kandungan mineral alami yang lebih kaya.
“Air pegunungan tidak berarti harus di ambil di kaki gunung. Yang penting sumbernya masih dalam sistem akuifer pegunungan yang bersih dan dalam,” jelas Heru.
Fakta ini memperlihatkan bahwa klaim “air pegunungan” yang di usung produsen AMDK bukan hanya strategi marketing, melainkan hasil penelitian ilmiah dan investasi besar agar produk yang di jual benar-benar sehat, higienis, dan aman bagi konsumen.
Aqua Subang Gunakan Sumber Air Sesuai Rekomendasi Ilmiah
Berdasarkan data teknis, PT Tirta Investama Subang mengambil air dari kedalaman 64 hingga 102 meter, bukan 132 meter seperti yang disebutkan KDM. Praktik tersebut sesuai dengan standar industri AMDK dan rekomendasi hidrogeologi nasional untuk menjaga kualitas serta higienitas air minum.
Dengan demikian, kekhawatiran KDM soal risiko pergeseran tanah tampaknya tidak mempertimbangkan aspek ilmiah sistem hidrogeologi.
Pihak PT Tirta Investama Subang di jadwalkan akan memberikan keterangan resmi dalam waktu dekat untuk menjelaskan secara rinci proses pengambilan air serta hasil kajian teknisnya. (H. Ade)










