Subang, BOMEN NEWS.com –
Setiap masuk tahun ajaran baru lembaga Pendidikan dari mulai SD SMP, dan SMA Negeri penerima dana Bantuan Operasional Sekolah ( BOS) di Pemkab Subang di duga lakukan Pungli.
Dalam dugaan melakukan aksi punglinya hampir di setiap sekolah, di kedepankan Komite Sekolah oleh Kepala Sekolah menggelar musyawarah bersama seluruh orang tua Siswa di masing masing sekolahnya.
Musyawarah tersebut untuk menutupi pungutan liar atau pemaksaan dari pihak sekolah, padahal tujuannya untuk meraup keuntungan pribadi kepala Sekolah dari Pungutan Pembangunan di Sekolah dengan dalih Inpak dan Penjualan Buku LKS kepada peserta didik di masing – masing Sekolah.
Satu paket Buku LKS di jual oleh pihak distributor seharga Rp.150.000, di jual oleh pihak sekolah Rp.250.000 keuntungan yang diperoleh oleh Kepala Sekolah Rp.100.000 setiap peserta didik di masing – masing sekolah.
Prilaku tersebut telah mengabaikan peraturan menteri pendidikan nasional (Permendiknas) no 2 tahun 2008 tentang buku, pasal (11) melarang sekolah menjadi distributor atau pengecer buku kepada peserta didik.
Pada undang-undang No.3 Tahun 2017 juga mengatur sistem perbukuan, tata kelola perbukuan yang dapat di pertanggung jawabkan secara menyeluruh dan terpadu, yang mencakup pemerolehan naskah, penerbitan, pencetakan, pengembangan buku elektronik, pendistribusian, penggunaan, penyediaan, dan pengawasan buku” Ungkap Endang Supriadi SH saat di wawancara BOMEN News di ruang kerjanya (4/9/2023).
Di tambahkan Endang Supriadi, Buku pegangan siswa dari sekolah di berikan secara gratis, karena di subsidi pemerintah melalui Dana Bantuan Operasional (BOS).” Buku yang di subsidi pemerintah tidak boleh di jual kepada siswa. Karena itu hak siswa.” Jelasnya.
Buku LKS tidak di perjual belikan di sekolah. Siswa berhak membeli LKS, namun tidak di sekolah. Orang tua siswa beli LKS di toko buku.
Pasal 63 ayat (1) UU Sistem perbukuan “penerbit di larang menjual buku teks pendamping secara langsung ke satuan dan atau program pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”.
Pasal 64 ayat (1) UU Sistem perbukuan.”Penjualan buku teks pendamping dn buku nonteks di lakukan melalui Toko buku dan atau sarana lain”jelasnya.
Endang Supriadi yang panggilan akrab nya kang Endang Bineka, menjelaskan “Permendiknas No 2 tahun 2008 tentang perbukuan. Pasal (1) angka 10 “toko buku termasuk ke dalam distributor eceran buku atau pengecer, yang lengkapnya berbunyi ” Distributor eceran buku atau pengecer, yang lengkapnya berbunyi ” Distributor eceran buku yang selanjutnya di sebut pengecer adalah orang-perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang memperdagangkan buku dengan cara membeli dari penerbit atau distributor dan menjualnya secara eceran kepada konsumen akhir.”
Dalam hal ini jika di temukan ada tenaga pengajar atau guru di sekolahan yang menjual secara langsung buku LKS kepada siswa hal itu patut di pertanyakan karena tugas dan fungsi seorang guru adalah mengajar di lembaga pendidikan,dan di sekolah tempatnya proses belajar dan mengajar bukan tempatnya berdagang buku.
Penjualan buku, dan lembar kerja siswa (LKS) juga marak terjadi setiap ajaran baru, bahkan setiap berganti semester. Walau di katakan tidak wajib, namun para murid mau tidak mau harus membeli karena banyak tugas yang di berikan lewat LKS tersebut.
Masih ada sekolah yang melakukan penjualan buku LKS melalui koperasi. Ragam dalih pun bermacam-macam, salah satunya untuk menunjang kegiatan belajar mengajar, sebagai pendamping, atau referensi pengetahuan bagi anak didik. Hal ini terkadang menjadi pembenaran, tanpa mengindahkan peraturan yang sudah jelas melarangnya.
Sebagaimana yang terjadi pada salah satu sekolah tingkat SMP Negeri Kabupaten Subang, secara terang pihak guru sekolah membagikan daftar harga buku LKS Kepada siswa didik di sekolahan tersebut dan tidak tanggung harganya keseluruhan buku yang harus di bayar mencapai ratusan ribu.
Enung salah satu orang tua murid menyampaikan kepada BOMEN News ” saya seorang janda Suami meninggal anak saya 1 orang masih dalam usia belajar di sekolah negeri dan saya harus mengeluarkan biaya lebih dari 1,5 juta untuk beli buku LKS 250.000, uang Bangunan 220.000, belum seragam sekolah, seragam kaos olah raga, Batik demi anak. Sedangkan penghasilan kami hanya buruh harian yang penghasilan tidak tetap”, ungkapnya.
Sedangkan untuk makan saja kami sudah susah teringat janji bapak presiden Jokowi mengatakan bahwa sekolah negeri gratis tapi faktanya masih ada biaya beli buku dan biaya lainya.
Menyoal adanya praktik jual beli LKS.
Larangan tersebut diatur tegas pasal 181a peraturan pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 Tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, yang menyatakan pendidik dan tenaga kependidikan, baik perorangan maupun kolektif, di larang menjual buku pelajaran, LKS, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, seragam sekolah, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan.
Berdasarkan pasal itu sudah jelas. Guru, maupun karyawan di sekolah sama sekali tidak boleh menjual buku-buku maupun seragam sekolah.
Di tempat yang berbeda BOMEN News, menjumpai Dede Sunarya SH,MH, ahli Hukum di Subang. Ia mengatakan” tenaga pendidik yang menjual buku LKS di sekolah kepada siswa dan memungut uang Bangunan itu jelas pungli. Dan dapat di jerat pada aturan hukum pungutan liar atau pungli masuk ke pasal 368 KUHP. Terhadap kegiatan yang menguntungkan diri sendiri lewat kekerasan.
Dalam pasal di jelaskan kalau kegiatan mengancam untuk mendapatkan sesuatu dapat di kenakan pidana penjara selama 9 tahun”. Ungkapnya dengan tegas.
Dede Sunarya sebagai Advokat Subang ini mempertanyakan sumber dana untuk pembelian buku LKS tersebut. Jika dana pembelian memakai dana BOS itu sudah jelas melanggar Hukum karena dana bos sudah jelas peruntukkannya untuk siswa. Dan jika sekolah hanya membantu dalam menjualkan buku LKS pada siswa pasti si penjual (Guru). Tidak menutup kemungkinan mendapatkan untung dari penjualan yang sudah di tetapkan harganya dari penerbit.
Sebagai contoh harga satuan buku LKS dari penerbit Rp. 10 ribu namun di jual guru kepada siswa Rp. 15ribu ini berarti sang guru mendapatkan untung Rp. 5 ribu/satu buku LKS. Jika satu siswa di haruskan membeli 10 buah buku berarti sang guru mendapatkan keuntungan Rp. 50 ribu/siswa, dan dapat di perkirakan dalam 1 sekolah minimal 400 siswa maka dapat kita banyangkan berapa keuntungannya. Dan ini jelas jelas perbuatan melanggar hukum.
Komite sekolah pun di larang menjual buku mau pun seragam sekolah. Sebagaimana di atur dalam pasal 12a, peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2020 Tentang Komite Sekolah.
Di pasal itu tertulis, komite Sekolah, baik perorangan maupun kolektif di larang menjual buku pelajaran, bahan ajar, pakaian seragam. Atau bahan pakaian seragam di sekolah.
Jual beli seragam, buku pelajaran dan LKS yang di lakukan pihak sekolah merupakan mal administrasi. Dapat di kategorikan sebagai tindakan Pungutan liar atau pungli, yang dapat di kenakan sanksi pidana bagi pelakunya.
Praktik jual beli seragam, buku hingga LKS yang di lakukan sekolah maupun komite sekolah sebagai bagian dari tindakan pungli. Sebab, hal itu menjadi ranah penegak hukum.
Sedangkan sanksi administrasi yang di maksud, adalah dengan melakukan mutasi hingga pencopotan dari jabatan guru atau karyawan sekolah. Dan kewenangan ini menjadi tanggung jawab pimpinan sekolah.
Kalau itu sekolah, pimpinan di atasnya berarti Dinas (Pendidikan). Tentu dinas yang akan memberikan sanksi kepada para kepala sekolah yang melakukan maladministrasi.
Dan jelas apabila ada tenaga pendidik atau guru yang menjual buku di sekolah. Itu adalah pungli dan dapat di pidana para pelakunya. (H.Ade Bom)